Oleh Salim Maula Abu Hudzaifah (Anggota Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik PC IPM Moncobalang Periode 2021-2023)
Indonesia merupakan sebuah negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia juga dikenal sebagai sebuah negara hukum, yang artinya bahwa negara yang berdasar atas hukum. Pernyataan negara hukum Indonesia ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, butir I tentang Sistem Pemerintahan, yang dinyatakan bahwa: Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Akhir-akhir ini ada banyak kasus yang menimpa pelajar/anak di Indonesia dan banyak diberitakan oleh berbagai media massa, mulai dari kasus kekerasan seksual, tawuran, bullying, dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadi sebuah ironi bagi pelajar/anak sekarang ini, sebab terkadang para korban ataupun pelaku tidaklah mendapatkan penanganan hukum yang baik atau semestinya. Usia dan pengetahuan mereka tentang hukum membuat mereka harus pasrah terhadap putusan hakim ketika dalam persidangan, banyak dari mereka yang tidak tahu terhadap apa arti dari upaya hukum yang mungkin saja dapat meringankan vonis untuk mereka ketika sebagai terdakwa ataupun memberatkan hukuman bagi pelaku yang korbannya adalah pelajar/anak-anak. Salah satu akar masalah adalah para pelajar/anak ini yang sedang dalam sebuah kasus, entah sebagai korban maupun pelaku berfikiran bahwa ia tidak akan bisa meneruskan pembelaan kasusnya sebab ketiadaan biaya. Padahal dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 ayat (4) tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas ini menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan untuk memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi pencari keadilan yang menjalani proses peradilan.
Bahkan dalam kasus lain ketika pelajar/anak-anak yang sedang tersandung kasus ini sedang menjalani proses persidangan, tidak sedikit dari mereka menceritakan bahwa ketika memasuki ruang persidangan tanpa didampingi siapapun. Dan ketika diberi pertanyaan oleh majelis hakim saat proses persidangan, mereka hanya mengangguk-anggukan kepala menjawab pertanyaan tanpa adanya sanggahan maupun bantahan. Tentunya kenyataan ini dapat dikatakan kontradiktif dengan Pasal 18 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang pengadilan anak yang menyebutkan bahwa setiap anak yang ditangkap wajib mendapatkan bantuan hukum.
Menjawab persoalan ini Ketua Komnas Perlindungan Anak, membenarkan terkait rumitnya persoalan ketika anak sedang menghadapi persoalan hukum. Kak Seto mengatakan bahwa seharusnya Hakim dapat berperan aktif didalam melihat kasus pidana anak, termasuk didalamnya mengenai pemberian bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum ini menjadi sebuah kewajiban negara yang telah disiapkan oleh pengadilan, akan tetapi tidaklah begitu banyak lembaga bantuan hukum yang memberikan advokasi atau bantuan hukum khusus untuk anak yang menjadi terdakwa tindak pidana. Tentu ini menjadi sebuah pertanyaan besar mengenai siapakah yang akan membela anak yang menjadi terdakwa?
Tentunya kembali lagi peran aktif negara sangatlah dibutuhkan dalam permasalahan ini. Negara harus benar-benar hadir ketika pelajar/anak menjadi pelaku atau terdakwa dalam sebuah tindak kriminal sehingga hak-haknya dapat mereka dapatkan dengan baik.
Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya dan menyadari apabila dalam tulisan ini terdapat banyak kesalahan ataupun kekurangan.
Komentar
Posting Komentar